Di Semarang, kepulauan Jawa, kedatangan bulan puasa bukan disambut dengan tahlil, majlis doa selamat atau kenduri arwah, tapi dengan tarian ngendog (naga+kambing+BUROQ). Ngendog yang berwarna-warni diperarakkan di jalanan, atau di pasar malam, 2 minggu sebelum bulan puasa bermula. Di bawah patung binatang kacukan itu, diletakkan telur rebus untuk dijual kepada orang ramai.
Perarakan bermula sekitar pukul 1 petang, dan diarakkan ke beberapa masjid diikuti sekitar 100 orang yang memakai pakaian tradisional Semarang. Tradisi Dugderan mulai dikenal masyarakat Semarang sejak 1891. Perayaan tersebut digelar oleh Bupati Semarang Raden Mas Aryo Purboningrat untuk menentukan hari puasa pada sehari sebelumnya dengan membunyikan bedug di Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman Kanjengan.
Warak ngendog aslinya memang hanya berupa mainan anak-anak dengan wujud menyerupai hewan. Jika dibandingkan dengan bentuk Warak Ngendog yang ada sekarang ini, Warak Ngendog yang asli terbuat dari gabus tanaman mangrove dan bentuk sudutnya yang lurus.
Konon ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendog ini mengandung arti filosofis mendalam. Dipercayai bentuk lurus itu menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka lurus dan berbicara apa adanya. Tak ada perbedaan antara ungkapan hati dengan ungkapan lisan. Selain itu Warak Ngendog juga mewakili akulturasi budaya dari keragaman etnis yang ada di Kota Semarang.
Kata WARAK sendiri berasal dari bahasa arab “Wara’I” yang berarti suci. Dan Ngendog(bertelur) disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang setelah sebelumnya menjalani proses suci. Secara harfiah, Warak Ngendog bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di Bulan Ramadhan, kelak di akhir bulan akan mendapatkan pahala di Hari lebaran.
Warak Ngendog bagi Kota Semarang sudah menjadi ikon identitas kota dan sudah dikenal hingga keluar daerah. Beberapa titik di pusat kota, bahkan direncanakan akan dibangun patung Warak Ngendog sebagai maskot penegas ciri khas kota Semarang.
No comments:
Post a Comment